Minggu, 14 Agustus 2016

Contoh Cerita Pendek

MIMPI DARI NOVEL YANG BERARTI

“Kaka mau ikut gak?” Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku langsung mengambil sepatu, lalu naik ke dalam mobil. Aku dan ibu akan mengantar kakakku kuliah. Di tengah perjalanan kami terjebak macet, banyak pedagang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk menawari dagangan mereka. Tapi tak ada satupun pedagang yang menarik perhatianku, kecuali bapak-bapak yang sedang bershalawat sambil memainkan rebananya yang berada tidak jauh dari mobilku. Di depan bapak itu, terdapat kaleng kecil yang terlihat telah menampung beberapa uang receh.
Mobil semakin dekat dan sekarang tepat berada di samping mobilku. Segera saja kubuka kaca jendela mobil dan memberikannya dua lembar uang seribu rupiah. Tidak banyak orang yang melewatkan kesempatan ini, untuk memberi bapak itu sedekah. Dan mobil berjalan lancar seperti semula.
Minggu berikutnya, kami melakukan hal yang sama. Mengantar kakakku ke kampus dan seperti hari sebelumnya, aku melihat bapak-bapak yang sedang bershalawat sambil memainkan rebananya. Kulihat kaleng yang berada di depannya tidak begitu penuh dengan uangnya seperti minggu lalu. Dengan iba, aku memberi lima ribu rupiah. Lalu melanjutkan perjalanan sampai tiba di kampus dan pulang.
Sesampainya di rumah, aku menyalakan televisi, tidak berapa lama aku mematikannya karena acara-acaranya yang mulai menjenuhkan. Ku pergi ke kamar tidur dan mengambil novel yang baru saja kubeli setelah mengantar kakakku ke kampus dan membaca novel tersebut. Karena hari yang mulai gelap, aku mulai dilanda rasa mengantuk. Tetapi aku bersikeras untuk melanjutkan membaca sampai selesai, karena cerita ini membuatku penasaran. Dan pada akhirnya, tanpa tersadar aku mulai memejamkan mataku.
Sinar matahari menyilaukan mataku, aku mulai membuka mata perlahan-lahan. Disini sangat ramai, sebuah kereta kuda menderu lewat dan nyaris menyerempetku, banyak pedagang-pedagang yang membawa dagangannya, sehingga terjadi kemacetan dan saling tubruk-mentubruk antara  para kusir dan para pedagang jalan kaki yang tidak ingin mengalah.
“Apa ini? Pasar??” batinku dalam hati. Tapi bangunan- bangunan tua yang dihiasi jembatan-jembatan yang melintasi sungai meyakinkanku bahwa disini bukanlah pasar, tetapi mengingatkanku akan tempat-tempat seperti di italia dan bangunannya seperti di kota tua Jakarta. Bedanya disini orang-orangnya berpenampilan seperti 1600 tahunan.
Lamunanku dibuyarkan oleh dua orang anak laki-laki yang menarik lenganku. “ayo cepat, kalau tidak ingin ketinggalan”. Aku mengikuti kemana mereka pergi dan berujung pada sebuah kerumunan. Dimana suara laki-laki, perempuan, dan anak-anak semua bercampur aduk. Aku ingin melihat siapa anak yang menarikku. “hei, kau siapa?”, bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah menarik lenganku dengan lebih kuat. Sampai pada akhirnya kami berada di barisan paling depan di sebuah pertunjukan sepak bola.
Aku menegur  mereka lagi “kalian siapa?” sambil menepuk bahu mereka dan akhirnya mereka melihat ke arahku. “ dia tidak mengenal kita, Leonardo” ucap laki-laki berbaju kuning kepada laki-laki yang berbaju hijau. Laki-laki yang dia panggil Leonardo hanya tersenyum-senyum “ sudahlah Carlo, dia pasti hanya bergurau”. “ Leonardo dan Carlo, sepertinya aku pernah mendengar nama itu” batinku dalam hati. Karena hanya mereka yang menganggap mengenalku, maka kuikuti saja mereka.
Disini kondisi semakin gaduh, karena adanya salah satu pemain yang curang, sehingga menimbulkan keributan antara wasit, penonton, dan para pemainnya. Terjadi dorong-mendorong di antara penonton dan akhirnya penonton menyerbu ke lapangan. “hei, dompetku tidak ada” teriak Leonardo. Aku langsung mencari siapa pelakunya. “itu dia!!” teriakku memberitahukan mereka, tapi sepertinya Leonardo sudah mengetahui lebih dulu siapa pelakunya, karena dia berlari terlebih dahulu sebelum aku memberitahukannya. Aku dan Carlo segera mengikutinya dari belakang. Kami berlari dan berlari mengejar sang pencopet.
Sampai pada akhirnya kami sampai di sebuah kegaduhan lagi. Dibanding lapangan tadi, tempat ini lebih kecil dan sempit. Dimana terdapat seorang laki-laki yang berdiri diatas gentong bir. Dia memakai jubah dan memegang sebuah pedang yang sudah agak berkarat. Lelaki itu sudah agak tua dan memberikan ceramah-ceramah kepada penduduk desa. Kalau menurutku dia seperti ustad yang sedang berceramah. Orang-orang berdesakan ingin mendengar ceramah lelaki yang seperti ustad itu. “siapa itu?” tanyaku pada Carlo. “itu seorang padri”jawab Carlo “padri berpedang” Leonardo menambahkan. “Kota ini sudah dilumuri dosa! Kuasa uang menghancurkan manusia! Toko-toko maksiat maupun kebohongan dan penipuan menjadi santapan sehari-hari. Kalau membiarkan diri kalian dikuasai uang, kalian akan menjadi temannya setan!” pidato sang padri.
Leonardo mendengarkan kata-kata padri itu dengan saksama. Tiba- tiba  terlihat  olehku pencopet yang sedari tadi kami kejar. Rupanya ia terkesan dengan kata-kata padri itu. Segera kuberitahukan kepada Leonardo. Kami ingin mengejar pencopet itu, tetapi tidak mudah karena disini juga berdesakan. Sekilas kulihat setelah si padri berkhotbah, dua anak buah si padri yang sama-sama memakai jubah meminta sumbangan kepada para penonton dan segera banyak uang logam yang masuk ke dalam kantong yang dipegang anak buah si padri. Menurutku seperti orang yang telah membuat  pertunjukan topeng monyet lalu seusai pertunjukan mereka meminta  imbalan karena sudah menonton.
Leonardo masih mencoba mendekati si pencopet. Tanpa sadar tangan si pencopet  itu sudah dipegang oleh Leonardo. “kembalikan dompetku!” seru Leonardo. “Jangan sakiti aku” kata si pencopet yang umurnya seperti empat atau lima belasan. “emangnya kau kuapakan?, cepat kembalikan dompetku jika kau tidak ingin berdosa”.  Sang pencopet langsung melemparkan dompet Leonardo dan segera kabur. Leonardo segera memeriksa isi dompetnya dan semuanya masih lengkap. “ayo kita balik” ajak Carlo kepada aku dan tentunya Leonardo. Lalu kami tiba di sebuah desa dan mengarah ke sebuah rumah bertingkat.
Langsung saja Leonardo dan Carlo berpisah. “ sampai jumpa besok ya Carlo” kata Leonardo, Carlo hanya membalas dengan melambaikan tangan. Aku hanya bengong  melihat Leonardo masuk ke rumah bertingkat tersebut yang kutebak itu adalah rumahnya. Karena tidak tahu harus kemana aku langsung masuk ke dalam rumah Leonardo. Dan dia pun tidak keberatan apalagi protes karena aku memasuki rumahnya.
Tiba-tiba dari luar terdengar kerumunan orang, segera aku keluar lagi untuk melihat keadaan. Sang padri dan pengikutnya tiba di desa  itu. Kelompok itu menginap di sebuah penginapan dan semua yang mereka inginkan selalu dipenuhi oleh penduduk desa tanpa mereka harus membayar. Mereka diperlakukan seperti itu, karena mereka dianggap orang suci oleh penduduk desa. Setiap padri itu berkhotbah seperti biasa dia selalu meminta imbalan kepada penduduk desa. Dan selau menginap di penginapan yang selalu memanjakannya sampai persediaan di penginapan tersebut habis.
Saat padri itu berkhotbah lagi, secara spontan aku meneriaki dia “huu” orang-orang di sekitarku langsung tertuju kepadaku, sang padri pun juga menatapku. Tanpa basa-basi aku langsung lari, kudengar si padri menyuruh para penduduk untuk mengejarku. Aku berlari sekut tenaga, sekali-kali melihat apakah mereka masih mengejarku, mereka semakin mendekat dan mendekat. Aku juga semkin menambah kekuatan lariku, tetapi semakin aku menambah tenaga untuk berlari semakin pelan cara berlariku.
Dan akhirnya aku tertangkap oleh para penduduk desa yang mukanya berubah seperti zombie. Hatiku semakin takut dan gelisah, mereka menarikku menuju sang padri yang kulihat mukanya  juga  sudah berubah menjadi zombie “tidak.. tidak..”teriaku. Kulihat dari kejauhan Leonardo muncul dari jendela rumahnya tingkat dua “hei tolong aku” dia  hanya diam mentapku. Lalu dari kejauhan terdengar “Ra..rara.. bangun”
Aku langsung terbangun dari tidurku dan melihat ibuku sudah berada di depan kamarku “bangun udah siang” aku melihat ke jendela, sinar matahari menerpa wajahku dan kali ini benar-benar terasa hangat. Kulihat seisi kamarku terdapat jam yang menunjukan pukul sepuluh pagi, lalu aku turun dari tempat tidur, merapikannya. Lalu aku tertuju pada sebuah buku yang sampulnya terlipat  karena  tertiban  oleh badanku saat tidur. Buku yang berjudul The Da Vinci Files karangan Alfred Bekker
Disampulnya terdapat gambar dua anak laki-laki serta orang tua yang sedang  memegang  pedang. Kuhiraukan buku itu, dan langsung saja aku pergi ke kamar mandi, mencuci mukaku dan pergi ke kamar tidurku lagi dan menyiapkan bajuku untuk mandi. Saat masuk ke kamar, lagi-lagi aku tertuju pada buku itu. Karena aku baru membacanya setengah aku penasaran apa yang terjadi selanjutnya dalam novel ini. Wah, cerita ini sebagian hampir sama dengan mimpiku. Leonardo, Carlo, SangPadri dengan khotbahnya, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda.
Kulanjutkan membaca novel itu, dan ternyata padri yang bernama Bruder Bartolo ketahuan oleh Leonardo, Carlo, dan Penduduk Desa. Bahwa dia bukan seorang padri yang sesungguhnya. Sebenarnya ia hanya pembantu di suatu biara. Di tempat biara itulah, dia sering mendengarkan para biarawati berkhotbah dan ia meniru seperti para biarawati itu. Dan pedang yang ia pegang hanyalah untuk menakut-nakuti orang.
Karena usahanya dalam mencari uang dengan membawa cerita –cerita religi ia mendapat  karmanya sendiri dan  selain mengaku-ngaku sebagai orang yang suci, penduduk yang sering memberi uang  kepada Bruder Bartolo membuat ia menjadi terbiasa dengan hal buruknya. Dia menganggap bahwa pekerjaan ini dengan  memberi ceramah kepada penduduk yang polos dan mudah dibodohi  lebih mudah dan praktis untuk mendapatkan uang dibanding pekerjaan menjadi pedagang, sehingga ia tidak ingin mencari pekerjaan yang halal. Aku pun menutup buku itu.

Minggu berikutnya seperti biasa, aku dan ibu mengantar kakakku kuliah. Dan lagi-lagi melewati bapak-bapak yang bershalawat serta rebananya. Terasa kecepatan mobil agak dikurangi oleh ibuku. Ibuku seperti menungguku untuk mengeluarkan tanganku dan memberi beberapa lembar uang kepada bapak tersebut. Aku masih saja melipat tanganku dan sambil bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti musik di mobil. Sampai akhirnya mobil melewati bapak-bapak itu. “ ka, gak ngasih uang ke bapak tadi?”Tanya ibuku “jangan terlalu sering, nanti dia seperti Bruder Bartolo” Kataku dengan mulut sedikit mengembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar