MIMPI DARI NOVEL YANG BERARTI
“Kaka
mau ikut gak?” Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku langsung mengambil sepatu,
lalu naik ke dalam mobil. Aku dan ibu akan mengantar kakakku kuliah. Di tengah
perjalanan kami terjebak macet, banyak pedagang yang memanfaatkan kesempatan
ini untuk menawari dagangan mereka. Tapi tak ada satupun pedagang yang menarik
perhatianku, kecuali bapak-bapak yang sedang bershalawat sambil memainkan
rebananya yang berada tidak jauh dari mobilku. Di depan bapak itu, terdapat
kaleng kecil yang terlihat telah menampung beberapa uang receh.
Mobil
semakin dekat dan sekarang tepat berada di samping mobilku. Segera saja kubuka
kaca jendela mobil dan memberikannya dua lembar uang seribu rupiah. Tidak
banyak orang yang melewatkan kesempatan ini, untuk memberi bapak itu sedekah.
Dan mobil berjalan lancar seperti semula.
Minggu
berikutnya, kami melakukan hal yang sama. Mengantar kakakku ke kampus dan
seperti hari sebelumnya, aku melihat bapak-bapak yang sedang bershalawat sambil
memainkan rebananya. Kulihat kaleng yang berada di depannya tidak begitu penuh
dengan uangnya seperti minggu lalu. Dengan iba, aku memberi lima ribu rupiah.
Lalu melanjutkan perjalanan sampai tiba di kampus dan pulang.
Sesampainya
di rumah, aku menyalakan televisi, tidak berapa lama aku mematikannya karena
acara-acaranya yang mulai menjenuhkan. Ku pergi ke kamar tidur dan mengambil
novel yang baru saja kubeli setelah mengantar kakakku ke kampus dan membaca
novel tersebut. Karena hari yang mulai gelap, aku mulai dilanda rasa mengantuk.
Tetapi aku bersikeras untuk melanjutkan membaca sampai selesai, karena cerita
ini membuatku penasaran. Dan pada akhirnya, tanpa tersadar aku mulai memejamkan
mataku.
Sinar
matahari menyilaukan mataku, aku mulai membuka mata perlahan-lahan. Disini
sangat ramai, sebuah kereta kuda menderu lewat dan nyaris menyerempetku, banyak
pedagang-pedagang yang membawa dagangannya, sehingga terjadi kemacetan dan
saling tubruk-mentubruk antara para
kusir dan para pedagang jalan kaki yang tidak ingin mengalah.
“Apa
ini? Pasar??” batinku dalam hati. Tapi bangunan- bangunan tua yang dihiasi
jembatan-jembatan yang melintasi sungai meyakinkanku bahwa disini bukanlah
pasar, tetapi mengingatkanku akan tempat-tempat seperti di italia dan bangunannya
seperti di kota tua Jakarta. Bedanya disini orang-orangnya berpenampilan
seperti 1600 tahunan.
Lamunanku
dibuyarkan oleh dua orang anak laki-laki yang menarik lenganku. “ayo cepat,
kalau tidak ingin ketinggalan”. Aku mengikuti kemana mereka pergi dan berujung
pada sebuah kerumunan. Dimana suara laki-laki, perempuan, dan anak-anak semua
bercampur aduk. Aku ingin melihat siapa anak yang menarikku. “hei, kau siapa?”,
bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah menarik lenganku dengan lebih kuat.
Sampai pada akhirnya kami berada di barisan paling depan di sebuah pertunjukan
sepak bola.
Aku
menegur mereka lagi “kalian siapa?”
sambil menepuk bahu mereka dan akhirnya mereka melihat ke arahku. “ dia tidak
mengenal kita, Leonardo” ucap laki-laki berbaju kuning kepada laki-laki yang
berbaju hijau. Laki-laki yang dia panggil Leonardo hanya tersenyum-senyum “
sudahlah Carlo, dia pasti hanya bergurau”. “ Leonardo dan Carlo, sepertinya aku
pernah mendengar nama itu” batinku dalam hati. Karena hanya mereka yang menganggap
mengenalku, maka kuikuti saja mereka.
Disini
kondisi semakin gaduh, karena adanya salah satu pemain yang curang, sehingga
menimbulkan keributan antara wasit, penonton, dan para pemainnya. Terjadi
dorong-mendorong di antara penonton dan akhirnya penonton menyerbu ke lapangan.
“hei, dompetku tidak ada” teriak Leonardo. Aku langsung mencari siapa
pelakunya. “itu dia!!” teriakku memberitahukan mereka, tapi sepertinya Leonardo
sudah mengetahui lebih dulu siapa pelakunya, karena dia berlari terlebih dahulu
sebelum aku memberitahukannya. Aku dan Carlo segera mengikutinya dari belakang.
Kami berlari dan berlari mengejar sang pencopet.
Sampai
pada akhirnya kami sampai di sebuah kegaduhan lagi. Dibanding lapangan tadi,
tempat ini lebih kecil dan sempit. Dimana terdapat seorang laki-laki yang
berdiri diatas gentong bir. Dia memakai jubah dan memegang sebuah pedang yang
sudah agak berkarat. Lelaki itu sudah agak tua dan memberikan ceramah-ceramah
kepada penduduk desa. Kalau menurutku dia seperti ustad yang sedang berceramah.
Orang-orang berdesakan ingin mendengar ceramah lelaki yang seperti ustad itu. “siapa
itu?” tanyaku pada Carlo. “itu seorang padri”jawab Carlo “padri berpedang”
Leonardo menambahkan. “Kota ini sudah dilumuri dosa! Kuasa uang menghancurkan
manusia! Toko-toko maksiat maupun kebohongan dan penipuan menjadi santapan
sehari-hari. Kalau membiarkan diri kalian dikuasai uang, kalian akan menjadi
temannya setan!” pidato sang padri.
Leonardo
mendengarkan kata-kata padri itu dengan saksama. Tiba- tiba terlihat olehku pencopet yang sedari tadi kami kejar.
Rupanya ia terkesan dengan kata-kata padri itu. Segera kuberitahukan kepada Leonardo.
Kami ingin mengejar pencopet itu, tetapi tidak mudah karena disini juga
berdesakan. Sekilas kulihat setelah si padri berkhotbah, dua anak buah si padri
yang sama-sama memakai jubah meminta sumbangan kepada para penonton dan segera
banyak uang logam yang masuk ke dalam kantong yang dipegang anak buah si padri.
Menurutku seperti orang yang telah membuat pertunjukan topeng monyet lalu seusai
pertunjukan mereka meminta imbalan
karena sudah menonton.
Leonardo
masih mencoba mendekati si pencopet. Tanpa sadar tangan si pencopet itu sudah dipegang oleh Leonardo. “kembalikan
dompetku!” seru Leonardo. “Jangan sakiti aku” kata si pencopet yang umurnya
seperti empat atau lima belasan. “emangnya kau kuapakan?, cepat kembalikan
dompetku jika kau tidak ingin berdosa”.
Sang pencopet langsung melemparkan dompet Leonardo dan segera kabur.
Leonardo segera memeriksa isi dompetnya dan semuanya masih lengkap. “ayo kita
balik” ajak Carlo kepada aku dan tentunya Leonardo. Lalu kami tiba di sebuah
desa dan mengarah ke sebuah rumah bertingkat.
Langsung
saja Leonardo dan Carlo berpisah. “ sampai jumpa besok ya Carlo” kata Leonardo,
Carlo hanya membalas dengan melambaikan tangan. Aku hanya bengong melihat Leonardo masuk ke rumah bertingkat
tersebut yang kutebak itu adalah rumahnya. Karena tidak tahu harus kemana aku
langsung masuk ke dalam rumah Leonardo. Dan dia pun tidak keberatan apalagi
protes karena aku memasuki rumahnya.
Tiba-tiba
dari luar terdengar kerumunan orang, segera aku keluar lagi untuk melihat
keadaan. Sang padri dan pengikutnya tiba di desa itu. Kelompok itu menginap di sebuah
penginapan dan semua yang mereka inginkan selalu dipenuhi oleh penduduk desa
tanpa mereka harus membayar. Mereka diperlakukan seperti itu, karena mereka
dianggap orang suci oleh penduduk desa. Setiap padri itu berkhotbah seperti
biasa dia selalu meminta imbalan kepada penduduk desa. Dan selau menginap di
penginapan yang selalu memanjakannya sampai persediaan di penginapan tersebut
habis.
Saat
padri itu berkhotbah lagi, secara spontan aku meneriaki dia “huu” orang-orang
di sekitarku langsung tertuju kepadaku, sang padri pun juga menatapku. Tanpa
basa-basi aku langsung lari, kudengar si padri menyuruh para penduduk untuk
mengejarku. Aku berlari sekut tenaga, sekali-kali melihat apakah mereka masih
mengejarku, mereka semakin mendekat dan mendekat. Aku juga semkin menambah
kekuatan lariku, tetapi semakin aku menambah tenaga untuk berlari semakin pelan
cara berlariku.
Dan
akhirnya aku tertangkap oleh para penduduk desa yang mukanya berubah seperti
zombie. Hatiku semakin takut dan gelisah, mereka menarikku menuju sang padri
yang kulihat mukanya juga sudah berubah menjadi zombie “tidak.. tidak..”teriaku.
Kulihat dari kejauhan Leonardo muncul dari jendela rumahnya tingkat dua “hei
tolong aku” dia hanya diam mentapku.
Lalu dari kejauhan terdengar “Ra..rara.. bangun”
Aku
langsung terbangun dari tidurku dan melihat ibuku sudah berada di depan kamarku
“bangun udah siang” aku melihat ke jendela, sinar matahari menerpa wajahku dan
kali ini benar-benar terasa hangat. Kulihat seisi kamarku terdapat jam yang
menunjukan pukul sepuluh pagi, lalu aku turun dari tempat tidur, merapikannya.
Lalu aku tertuju pada sebuah buku yang sampulnya terlipat karena tertiban oleh badanku saat tidur. Buku yang berjudul
The Da Vinci Files karangan Alfred Bekker
Disampulnya
terdapat gambar dua anak laki-laki serta orang tua yang sedang memegang pedang. Kuhiraukan buku itu, dan langsung saja
aku pergi ke kamar mandi, mencuci mukaku dan pergi ke kamar tidurku lagi dan menyiapkan
bajuku untuk mandi. Saat masuk ke kamar, lagi-lagi aku tertuju pada buku itu.
Karena aku baru membacanya setengah aku penasaran apa yang terjadi selanjutnya
dalam novel ini. Wah, cerita ini sebagian hampir sama dengan mimpiku. Leonardo,
Carlo, SangPadri dengan khotbahnya, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda.
Kulanjutkan
membaca novel itu, dan ternyata padri yang bernama Bruder Bartolo ketahuan oleh
Leonardo, Carlo, dan Penduduk Desa. Bahwa dia bukan seorang padri yang
sesungguhnya. Sebenarnya ia hanya pembantu di suatu biara. Di tempat biara
itulah, dia sering mendengarkan para biarawati berkhotbah dan ia meniru seperti
para biarawati itu. Dan pedang yang ia pegang hanyalah untuk menakut-nakuti
orang.
Karena
usahanya dalam mencari uang dengan membawa cerita –cerita religi ia mendapat karmanya sendiri dan selain mengaku-ngaku sebagai orang yang suci,
penduduk yang sering memberi uang kepada
Bruder Bartolo membuat ia menjadi terbiasa dengan hal buruknya. Dia menganggap
bahwa pekerjaan ini dengan memberi
ceramah kepada penduduk yang polos dan mudah dibodohi lebih mudah dan praktis untuk mendapatkan
uang dibanding pekerjaan menjadi pedagang, sehingga ia tidak ingin mencari
pekerjaan yang halal. Aku pun menutup buku itu.
Minggu
berikutnya seperti biasa, aku dan ibu mengantar kakakku kuliah. Dan lagi-lagi
melewati bapak-bapak yang bershalawat serta rebananya. Terasa kecepatan mobil
agak dikurangi oleh ibuku. Ibuku seperti menungguku untuk mengeluarkan tanganku
dan memberi beberapa lembar uang kepada bapak tersebut. Aku masih saja melipat
tanganku dan sambil bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti musik di mobil. Sampai
akhirnya mobil melewati bapak-bapak itu. “ ka, gak ngasih uang ke bapak tadi?”Tanya
ibuku “jangan terlalu sering, nanti dia seperti Bruder Bartolo” Kataku dengan
mulut sedikit mengembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar